Jumat, 05 Februari 2010

Tantangan Kesehatan dalam AFTA 2010

AFTA 2010

Apa yang ada di benak kita ketika kita membaca judul di atas?mungkinkah kita mengerti kepanjangannya tetapi tidak mengerti isinya?ataukah kepanjangannya saja kita tidak tahu?? AFTA merupakan kepanjangan dari ASEAN Free Trade Area. Jika kita melihat kata free trade berarti terdapat konsep globalisasi di sana karena mengandung unsur pasar bebas. Globalisasi ini sebenarnya merupakan konsep turunan dari neoliberalisme yaitu teori perekonomian yang menolak intervensi pemerintah dalam sector perekonomian yang tidak jauh beda dengan liberalisme klasik. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi (wikipedia, 2009). Untuk menyokong globalisasi ini maka pada tanggal 15 April 1994 di marrakesh, Maroko dibuatlah GATT (General Agreement on Tariff and Trade ) yang merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah,forum negosiasi dan pengadilan jika terjadi persilisihan.

Melalui Uruguay Round, GATT melahirkan organisasi perdagangan dunia yaitu World Trade Organization (WTO) yang menetapkan aturan – aturan perdagangan nternasional sehingga semakin memudahkan proses globalisasi. WTO juga memperluas substansi pengaturannya yang tidak ada di GATT seperti HAKI dan masalah jasa berupa GATS (General Agreement on Trade in Service) dan juga terdapat TRIMS (trade-related investment measures) yang mengatur ketentuan – ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan barang. Untuk mewujudkan globalisasi di tiap regional maka dibentuklah organisasi – organisasi perdagangan bebas, misalnya APEC di asia pasifik dan AFTA di Asia Tenggara pada tanggal 1 Januari 1992.
AFTA yang sudah diberlakukan sejak 1 Januari 2010 lalu diturunkan dalam 3 komponen besar yaitu AFAS (ASEAN Framework Agreement in Service), ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement). Tentu saja yang akan difokuskan yaitu AFAS karena berkaitan erat dengan pelayanan jasa kedokteran. Tujuan AFAS diantaranya menigkatnya kerjasama di negara – negara ASEAN sehingga meningkatkan efisiensi dan kompetitif serta menganekaragamkan kapasitas produk dan distribusi jasa antar negara ASEAN. Setiap aspek jasa di era globalisasi mempunyai perjanjian termasuk aspek pelayanan kesehatan sehingga menteri perdagangan tiap Negara ASEAN membuat perjanjian untuk praktik kedokteran di era globalisasi berupa ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Practitioners (MRA) yang bertujuan memfasilitasi mobilitas para dokter di Negara ASEAN dan pertukaran informasi , meningkatkan kerja sama antar tenaga dokter di ASEAN, mempromosikan praktik kedokteran sesuai standar dan kualifikasi serta membuka kesempatan untuk membangun dan melatih para dokter di negara ASEAN.

Dengan adanya AFTA tentunya tak lepas dari dampak positif dan negatifnya dalam kondisi negara kita khususnya dalam bidang kesehatan sehingga kita harus siap untuk menerimanya. Dampak postif yang mungkin terjadi contohnya meningkatnya jumlah fasilitas tenaga kesehatan. Akan muncul pelayanan kesehatan yang lebih baik seperti munculnya rumah sakit internasional juga alat – alat kesehatan sehingga konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap fasilitas yang akan mereka gunakan. Kemungkinan yang terjadi lagi adalah meningkatnya persaingan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Tenaga kesehatan domestic akan bersaing dengan tenaga kesehatan asing sehingga mereka saling menunjukkan yang terbaik dari segi keilmuan maupun pelayanan dan transparansi kualitas tenaga kesehatan akan semakin benar – benar terbuka lebar karena kompetisi “menjual” kemampuan diri semakin tinggi. Yang ketiga,meningkatnya lapangan kerja bagi tenaga kesehatan domestik seiring dengan banyaknya pihak swasta yang masuk dan membuat lapangan kerja.

Selain dampak positif, kita juga harus memperhatikan dampak negatif yang ada seperti meningkatnya penyalahgunaan pemanfaatan teknologi kedokteran. Semakin banyak teknologi yang dipunya maka ketergantungan akan teknologi meningkat sehingga bisa saja digunakan secara berlebihan dan tidak tepat guna. Melihat dampak positif tadi mengenai meningkatnya persaingan pelayanan kesehatan juga bisa berakibat buruk misalnya persaingan yang tidak sehat antar tenaga kesehatan domestik dan asing dalam mempertahankan “pelanggan” ataupun menurunkan “tarif” sehingga keadaan seperti ini tidak diawasi maka akan timbul konflik internasional (asing vs domestik). Dampak buruk yang tidak kalah penting yaitu berubahnya filosofi pelayanan kesehatan yang semula social menjadi komersial dan investasi serta tenaga kesehatan asing terpusat di daerah perkotaan ataupun kota – kota besar mengakibatkan pelayanan kesehatan yang tidak merata pada masyarakat desa atau wilayah kecil sehingga akan terabaikan kesehatannya.

Melihat dampak – dampak di atas maka kesiapan negara kita bias dilihat dari tiga poin penting yang harus dibenahi untuk mengatasi efek destruktif AFTA yaitu sistem kesehatan, SDM (tenaga kesehatan) dan masyarakat. Saat ini jumlah tenaga kesehatan masih sangat kurang. Rasio ideal dokter umum dibandingkan dengan produk yaitu 40 per 100.000 penduduk, rasio ideal dokter keluarga yaitu 2 : 1000 keluarga, rasio ideal dokter gigi yaitu 11 : 100.000 penduduk, rasio ideal perawat yaitu 117,5 : 100.000 penduduk, rasio ideal ahli gizi yaitu 22 : 100.000 penduduk, rasio ideal bidan yaitu 100 : 100.000 penduduk dan rasio ideal apoteker yaitu 10 : 100.000 penduduk. Semua indikator tersebut merupakan indicator Indonesia sehat 2010, tapi apakah indicator tersebut sudah terpenuhi? Masih ada cara untuk megatasi dampak destruktif AFTA 2010. WTO telah membuat “instrument skrining” agar kepentingan nasional anggotanya tidak terganggu yaitu MRA dan Economic Needs Test (ENT). Salah satu poin MRA adalah dimana dokter asing harus tunduk dan mengikuti “domestic regulation” dari host country. Oleh karena itu kita memerlukan domestic regulation dalam mengembangkan sistem pelayanan kedokteran terpadu yang komprehensif dalam menuju pelayanan kedokteran yang kendali mutu, kendali biaya, berkeadilan, merata, terjangkau, terstruktur dan Aman. Kita harus memiliki sistem pelayanan kesehatan yang kuat seperti sistem pelayanan kesehatan pada negara Inggris, Kanada dengan National Health Servicenya, Jepang dengan NHI-nya, murahnya biaya kesehatan pada prancis dan Kuba dan negara – negara lainnya.

Untuk itu dibuatlah suatu sistem pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dari warga negara seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. SKN sendiri terbagi menjadi beberapa subsistem diantaranya adalah upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, farmasi, alat kesehatan dan makanan, manajemen dan informasi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Dan tenaga kesehatan khususnya dokter umum (dokter keluarga) dengan adanya sistem pelayanan kedokteran terpadu mempunyai paradigma sehat yaitu dimana dokter mengharapkan banyak masyarakat yang sakit agar dapat menjaga lingkungan yang mereka jaga agar tetap sehat atau meningkatkan kesejahteraannya tentunya melalui peran aktif dokter yaitu upaya promotif dan preventif

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa salah satu subsistem SKN ialah sumber daya manusia kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan merupakan salah satu subsistem yang sangat vital karena ialah yang menjadi pelaku aktif dan ujung tombak terselenggaranya pembangunan kesehatan secara sukses. SDM kesehatan Indonesia sendiri masih menjumpai banyak permasalahan. Permasalahan tersebut, secara garis besar, berakar dari dua kumpulan besar yaitu permasalahan kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas, ketahanan dunia kedokteran itu sendiri mengalami konflik demand vs supply yang dramatis karena dari faktor produksi dokter, raw materialnya (dalam hal ini mahasiswa kedokteran) dan pabriknya (dalam hal ini fakultas kedokteran) memang tidak bisa menunjang. Selain itu kebijakan kesehatan nasional mengenai pola distribusi, regulasi pendaftaran dokter, dan sistem kesehatan juga berperan dalam permasalahan kuantitas dokter. Berbicara mengenai kuantitas tentu berkaitan erat dengan pabriknya yaitu institusi atau fakultas kedokteran. Sampai sekarang ada sekitar 71 institusi kedokteran yang berdiri. Pertanyaannya, apakah semakin banyaknya institusi kedokteran yanga ada sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. Maka disini diperlukan upaya dari DIKTI selaku pemberi ijin pendirian institusi baru mempunyai proses dan regulasi maupun standarisasi kualitas yang jelas untuk pendirian karena “pabrik” mempengaruhi hasilnya.

Kualitas SDM kesehatan (mahasiswa) pasti dipengaruhi oleh kurikulum akademik yang ada. Konsil Kedokteran Indonesia(KKI) adalah lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk menetapkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) dan menyelenggarakan Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sebagai sarana evaluasi pencapaian SKDI tersebut. Berdasarkan SKDI tersebut, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) kemudian menyusun kurikulum pendidikan dokter di Indonesia untuk diterapkan di seluruh institusi pendidikan dokter di Indonesia. Bayangkan kurikulum sebagai metode yang diterapkan di “pabrik” sehingga metode yang sesuai akan menghasilkan kualitas yang dibutuhkan. Muncul pertanyaaan apakah kurikulum yang telah saya jalani sesuai dengan syarat untuk dapat mencapai SKDI seperti yang telah ditetapkan KKI (dalam hal ini kedokteran). Aspek Proses SDM mengacu pada seven star doctor, yaitu care provider, decision maker, communicator, community leader, manager, researcher, dan religious, serta SKDI yang ditetapkan KKI:
1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan Klinis
3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
4. Pengelolaan Masalah Kesehatan
5. Pengelolaan Informasi
6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien

Sayangnya, berdasarkan kajian yang dilaksanakan Senat Mahasiswa FK Unpad pada April 2008, hanya poin care provider dari 7 Stars Doctor dan aspek Keterampilan klinis dan landasan ilmiah ilmu kedokteran dari SKDI, yang telah pasti difasilitasi secara optimal oleh kurikulum akademis hingga saat ini. Dimanakah kita mempelajari kompetensi – kompetensi yang lainnya? Tentu saja hal itu kita bisa capai dengan aktif dalam organisasi maupun kegiatan – kegiatan yang sifatnya mengembangkan potensi diri atau kegiatan apapun itu (contoh: entrepreneurship dll) sesuai bidang kita masing – masing yang biasa kita sebut soft skill. Kurikulum kemahasiswaan bisa menjadi komplementer dalam menjawab tantangan tersebut.Jika kurikulum kemahasiswaan ini diterapkan secara massif maka diperlukan upaya standarisasi agar tidak terjadi ketimpangan proses maupun hasil antar institusi dan menguasai kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan.

Lalu bagaimana peran dan tanggung jawab kita kita sebagai mahasiswa kesehatan terhadap tantangan yang ada? Sebagai mahasiswa kesehatan kita dituntut untuk total dalam akademik maupun non – akademik seperti karya ilmiah, pengembangan diri, keterampilan komunikasi dan masih banyak lagi. Mengutip materi yang disampaikan Sekolah Kader Bangsa (SKB) FKUB 2009 lalu bahwa peran dan tanggung jawab pemuda salah satunya adalah penyusunan kebijakan pembangunan nasional khusunya kesehatan karena kita bergerak dalam bidang kesehatan dan juga memberdayakan masyarakat. Bukan saja kita mengadakan penyuluhan, pengobatan gratis dan sebagainya namun juga ikut mengapresisasi dan mengawal kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan yang ada karena mempengaruhi kehidupan kita selama berkecimpung di dunia kesehatan, baik masa perkuliahan mapun sudah dalam jenjang profesi.

Apa bentuk apresiasi kita terhadap kebijakan yang ada? Tentu saja dengan mendukung pemerintah dalam mengambil keputusan yang benar sambil mengkritisi dan memberikan jawaban atas masalah – masalah yang ada. Semua itu kita lakukan sambil memperbaiki diri kita sendiri dalam hal kompetensi baik hard maupun soft skill dengan tujuan semua kembali pada masyarakat sesuai definisi SKN, tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Melirik pengertian pembangunan kesehatan bahwa kita adalah “komponen bangsa” yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud,
“apakah kita sudah melakukan perbuatan konkret untuk diri sendiri dan masyarakat di sekitar kita? ”

Mari bersatu dan lewati tantangan ini dengan perbuatan – perbuatan nyata karena kita mahasiswa yang punya idealisme !
HIDUP MAHASISWA !

Sumber:
Forum Mahasiswa Berbicara, Desember 2009
Sistem Kesehatan Nasional 2009
Nugraha, Satriya. Sejarah dan Peranan Pemuda Kedokteran yang visioner. Disampaikan dalam Sekolah Kader Bangsa FK Brawijaya, Malang, 2009
Fitri, Idul.Mengapresiasikan dan mengawal kebijjakan pemerintah dalam bidang kesehatan. Disamapaikan dalam Muswil dan Muskerwil ISMKI Wil. IV, Makassar, 2009

Oleh :
Yeremia Prawiro M.R.
FK Brawijaya